Search

Sifat-sifat Hukum Pidana Adat Indonesia

Alam pikiran masyarakat itu mempertautkan antara yang nyata dan tidak nyata, antara alam fana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib, antara hukum manusia dan hukum Tuhan. Oleh karena itu maka pada umumnya masyarakat adat tidak banyak yang dapat berpikir rasionalistis atau liberalistis sebagaimana cara berpikir orang barat atau orang Indonesia yang cara berpikirnya sudah terlalu maju atau kebarat-baratan dengan menyampingkan kepribadian Indonesia.

Dalam konteks itulah maka I Made Widnyana menyebutkan ada 5 sifat hukum pidana adat:
  1. Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.
  2. Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang akan terjadi.
  3. Membedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya, tetapi dilihat apa yang mejadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
  4. Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaan adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan ata pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
  5. Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenankan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma, alam pikiran tradisional yang tercermin dalam sifa-sifat hukum pidana adalah sebagai berikut:
  1. Menyeluru dan Menyatukan. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana adat bersifat menyeluruh dan meyatukan, ole karena latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, dimana yang satu dianggap bertautan dengan yang lain, maka yang satu tidak dapat dipisah-pisahkan dengan yang lain. Hukum pidana adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana, dengan pelanggaran yang bersifat perdata. Kesemuanya akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan perkara yang pertimbangannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya.
  2. Ketentuan yang terbuka. Oleh karena manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang, maka ketentuan hukum pidana adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuaannya bersifat terbuka untuk semua peristiwa yang mungkin terjadi. Yang penting dijadikan ukuran adalah rasa keadilan masyarakat. Dalam menyelesaikan peristiwa akan selalu terbuka dan selalu dapat menerima segaa sesuatu yang baru, karenanya akan selalu tumbuh ketentua-ketentuan yang baru.
  3. Membeda-bedakan permasalahan. Apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka dilihat bukan semata-mata perbuata dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pemikiran demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukum terhadap suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
  4. Peradilan dengan permintaan. Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara peanggaran, sebagian besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan, adanya gugatan atau tuntutan dari pihak yag dirugikan atau diperlakukan tidak adil kecuali dalam hal yang langsung merugikan dan menggangu keseimbangan masyarkat yang tidak dapat diselesaikan dalam batas wewenang kekerabatan.
  5. Tindakan reaksi atau koreksi. Dalam hal melakukan tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan peristiwa yang mengganggu keseimbangan masyarakat, petugas hukum tidak saja dapat bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap keluarga atau kerabat pelaku itu, atau mungkin diperlukan mebebankan kewajiban untuk mengembalikan keseimbangan.
  6. Tidak Prae-Existente. Hukum pidana adat tidak menganut sistem pra existente regel, artinya tidak menganut asa legalitas dalam arti perbuatan pidana dalam ukum pidana adat tidak ditentukan terlebih dahulu sebagai suatu tindak pidana dalam suatu perundang-undangan tertulis, tetapi ditentukan begitu ada perbuatan yang mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.

    1 komentar:

    1. semoga dapat berbagi terus dalam bidang ilmu hukum pidana adat. berbagi ilmu tidak berkurang, tapi akan terus bertambah.

      BalasHapus

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...